Kasus Merebak Di Akhir Tahun

Berbagai dugaan pelanggaran pajak mulai di telisik. Ada yang digembar-gemborkan, ada yang di panggil diam-diam.

Ketika akhir tahun kalender menjelang, dan target penerimaan pajak masih jomplang, petugas pajak terlihat galak. Akhir Desember silam, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengaku sudah menemukan dua perusahaan terbesar batu bara yang memiliki kekurangan pembayaran pajak sebesar Rp1,7 triliun dalam kurun waktu 2005-2006. satu perusahaan batu bara lainnya juga diperiksa. Diduga, perusahaan ini juga memiliki kekurangan pembayaran pajak sekitar Rp1 triliun dalam periode yang sama.

Selain itu, ada pula satu perusahaan perkebunan sawit yang diperkirakan memiliki tunggakan pajak Rp 1 triliun. Secara keseluruhan, Dirjen Pajak mengaku tengah menangani 46 kasus pelanggaran pajak skala besar yang melibatkan uang banyak serta perusahaan kakap.

Seorang karyawan pajak lalu mengatakan, pengungkapan kasus-kasus itu dilatari oleh minimnya penerimaan pajak yang didapat. Pada akhir November 2007, data penerimaan pajak berdasarkan modul penerimaan Negara (MPN) dikabarkan terkoreksi Rp22,4 triliun setelah diperiksa silang dengan jumlah uang yang tercatat di buku merah Departemen Keuangan. Seorang petinggi di dirjen pebendaharaan juga sempat mengatakan, penerimaan pajak hingga akhir November 2007 masih dibawah 80%.

Syahdan, masih rendahnya pencapaian itu membuat aparat pajak lantas menelisik sejumlah perusahaan yang diduga memiliki kekurangan pembayaran pajak. Tersebutlah 4 perusahaan tadi. Dirjen Pajak sendiri menemukan angka Rp3,7 triliun tadi setelah melihat profil pembayaran pajak empat perusahaan tersebut pada tahun 2004, 2005, dan 2006. hasilnya lantas dibandingkan dengan perusahaan lain yang berkecimpung di sektor sejenis.

Darmin mengatakan, perusahaan-perusahaan itu diwajibkan untuk membayar pajak yang belum dilunasinya itu hingga tahun 2008. batas itu ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan dalam melunasi tunggakan serta kestabilan usaha nya agar tidak terhenti. Yang pasti, Darmin menegaskan empat perusahaan tadi diduga telah melakukan pelanggaran pajak.

Modus pelanggaran pajak yang dilakukan, ujar Darmin, setidaknya ada 3 jenis. Yang paling sering digunakan oleh para pengerat pajak, pertama, adalah transfer pricing. Caranya dengan membentuk anak perusahaan di luar negeri. Biasanya di Singapura, Hong Kong, atau Negara-negara di Karibia. Kemudian perusahaan tersebut melakukan ekspor ke anak perusahaan tersebut dengan harga lebih murah. Tujuannya tentu saja untuk mencatatkan pendapatan lebih rendah dan berharap pajaknya dibayar murah.

Modus ke-2 adalah dengan membeli perusahaan lain oleh pemegang saham pada kelompok usaha yang sama. Beban usaha dari perusahaan yang dibeli tersebut lantas dimasukan ke neraca anak perusahaan berlaba tinggi. Tujuannya untuk menekan laba dan memperkecil pajak.lantas, cara ketiga adalah menggabungkan diri dengan perusahaan yang tengah merugi. Cara ini dilakukan agar beban pajak perusahaan utama dapat ditekan oleh kerugian yang dicatat perusahaan barunya.

Awalnya Darmin tidak pernah secara terbuka mengungkapkan identitas empat perusahaan yang tengah dibidiknya itu. Belakangan, ia mengakui, salah satu kasus yang sedang didalami oleh Dirjen Pajak adalah dugaan transfer pricing oleh PT. Adaro Indonesia. Kasus ini diduga dilakukan oleh Adaro pada 2005 dan 2006.

Batu bara produksi Adaro selama dua tahun tersebut sebagian dijual kepada coaltrade services international, perusahaan trading di singapura yang terafiliasi dengan Adaro. Dengan cara itu, Adaro mendapatkan keuntungan dari selisih pajak.

Berdasarkan dokumen yang diterima TRUST dari seorang aparat pajak, diketahui bahwa penjualan Adaro untuk tahun 2005 tercatat hanya US$697,1 juta dan tahun 2006 sebesar US$1,003 miliar. Kalau penjualan itu dihitung berdasarkan harga pasar, maka pada tahun 2005 (harga pasar US$48 per ton) Adaro seharusnya mendapat penghasilan US$1,287 miliar dan tahun 2006 sebesar US$1,371 miliar(harga pasar US$40).

Selisih antara hasil penjualan Adaro (berdasarkan harga yang ditentukan sendiri) dengan nilai penjualan berdasarkan harga pasar ternyata amat besar. Jika di rupiahkan, sekitar Rp9,121 triliun selama 2 tahun. Dari jumlah itu, kalau dihitung nilai royaltinya saja, yang 13,5%, maka potensi pemasukan Negara mencapai Rp1.231 triliun.

Selain Adaro, ada Arutmin dan KPC

Hingga kini, penelusuran dirjen pajak soal Adaro masih belum kelar. Tapi, kasus Adaro juga sudah masuk kejaksaan agung. Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto, mengaku sedang mengumpulkan data kasus ini. Tiga orang pejabat departemen energi dan sumber daya mineral juga sudah diperiksa, termasuk MS Marpaung (direktur pengusahaan mineral dan batubara ditjen mineral, batu bara dan panas bumi).

Selain Adaro, Darmin juga menyebut PT. Arutmin Indonesia dan PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Sayang, ia tak menjelaskan modus dua perusahaan yang dimiliki PT. Bumi Resources itu. Pengendali Bumi Resources adalah keluarga Bakrie. Darmin juga tidak mengemukakan nama perusahaan CPO yang tengah dibidiknya. Seorang sumber hanya mengatakan, perusahaan CPO itu merupakan bagian dari salah satu kelompok usaha agro terbesar di tanah air: SM.

Darmin memang cenderung setengah hati mengungkap kasus dugaan pelanggaran pajak ini. Seorang sumber di departemen keuangan mengatakan, pejabat pajak diam-diam sudah memanggil pemimpin empat perusahaan tadi. “mungkin itu terkait dengan pengamanan target pajak 2007,”ujarnya.

Sikap Darmin yang setengah hati ini berbeda dengan sewaktu ia mengupas kasus pajak PT Asian Agri. Disini, Darmin terlihat galak. Asia Agri, perusahaan hutan tanaman industri, dituding telah merugikan Negara Rp786,3 miliar.

Dugaan pelanggaran pajak berskala besar lainnya pernah juga diungkapkan Dradjad Wibowo, anggota DPR. Dradjad sempat mengatakan PT Indosat cenderung melakukan pelanggaran pajak. Indosat mengalami peningkatan laba sebelum pajak periode 2004-2006. namun, pembayaran pajak indosat untuk Negara malah menurun. Akibatnya, Negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp323 miliar.

Sektor usaha lainnya yang rawan pelanggaran pajak adalah sektor migas. Kalau disini, yang menentukan adalah besaran cost recovery alias biaya penggatian yang bisa di klaim kontrakror bagi hasil kepada pemerintah bila kawasan pertambangan yang dieksploitasinya telah berproduksi. Jika kontraktor gagal berproduksi, seluruh biaya menjadi resiko kontraktor.

Kisaran cost recovery selalu saja sekitar 30% dari total penjualan. Begitu setiap tahun. Padahal, nilai cost recovery seharusnya stabil. Atau, kalaupun naik, nilainya tak harus korelatif dengan kenaikan harga pasar. Tahun lalu nilai cost recovery migas mencapai US$10,4 miliar dan total penjualan migas sekitar US$30,5 miliar.

Hafiz Zawawi, wakil ketua panitia anggaran DPR, pernah mangatakan, kalau cost recovery itu bisa ditekan-taruhlah sampai ke 20%-maka hasil yang didapat Negara akan semakin besar. Sayang nilai cost recovery itu tetap bergeming di posisi semula. Makanya, dalam RAPBN-P2007, target penerimaan PPh migas pun diturunkan sebesar Rp3,7triliun dari Rp41,2 triliun menjadi Rp37,5triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (NPBP) sektor migas juga ikut dipangkas hingga Rp34,5triliun dari Rp139,9 triliun menjadi Rp105,5 triliun.

Depkeu Bekukan 8 Auditor

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sejak awal September 2009 hingga saat ini, menetapkan pemberian sanksi pembekuan izin usaha kepada delapan akuntan publik (AP) dan kantor akuntan publik (KAP). Penetapan sanksi pembekuan izin usaha itu berdasar Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik.

Mereka yang terkena sanksi adalah AP Drs. Basyiruddin Nur yang dikenakan sanksi melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1093/KM.1/2009 tanggal 2 September 2009. Demikian Departemen Keuangan dalam pengumuman yang diterima di Jakarta, Sabtu.

AP Drs. Basyiruddin Nur, telah dikenakan sanksi pembekuan selama tiga bulan karena yang bersangkutan belum sepenuhnya mematuhi Standar Auditing (SA) – Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan konsolidasian PT. Datascrip dan Anak Perusahaan tahun buku 2007, yang dinilai berpotensi berpengaruh cukup signifikan terhadap Laporan Auditor Independen.

Auditor lainnya AP Drs. Hans Burhanuddin Makarao yang dikenakan sanksi melalui KMK Nomor: 1124/KM.1/2009 tanggal 9 September 2009. Yang bersangkutan dikenakan sanksi pembekuan selama tiga bulan karena belum sepenuhnya mematuhi SA – SPAP dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan PT. Samcon tahun buku 2008, yang dinilai berpotensi berpengaruh cukup signifikan terhadap Laporan Auditor Independen.

Sanksi juga diberikan kepada AP Drs. Dadi Muchidin melalui KMK Nomor: 1140/KM.1/2009 tanggal 4 September 2009. Yang bersangkutan dikenakan sanksi pembekuan selama tiga bulan karena KAP Drs. Dadi Muchidin telah, SE telah dibekukan sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan bahwa izin AP Pemimpin KAP dibekukan apabila izin usaha KAP dibekukan.

Auditor lainnya KAP Drs. Dadi Muchidin melalui KMK Nomor: 1103/KM. 1/2009 tanggal 4 September 2009, dengan sanksi pembekuan selama tiga bulan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan terakhir dan sampai saat ini, KAP Drs. Dadi Muchidin masih melakukan pelanggaran berikutnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2008.

Selain itu KAP Matias Zakaria melalui KMK Nomor: 1117/KM.1/2009 tanggal 7 September 2009, selama tiga bulan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan terakhir dan sampai saat ini, KAP Drs. Matias Zakaria masih melakukan pelanggaran berikutnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2007 dan 2008.

Sanski juga diberikan kepada KAP Drs. Soejono melalui KMK Nomor: 1118/KM.1/2009 tanggal 7 September 2009, selama tiga bulan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan terakhir dan sampai saat ini, KAP Drs. Soejono masih melakukan pelanggaran berikutnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2005 hingga 2008.

Menkeu juga menetapkan sanksi untuk KAP Drs. Abdul Azis B. melalui KMK Nomor: 1119/KM.1 /2009 tanggal 7 September 2009, selama tiga bulan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak tiga kali dalam jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan terakhir dan sampai saat ini, KAP Drs. Abdul Azis B. masih melakukan pelanggaran berikutnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2005, 2007, dan 2008.

Sanksi juga diberikan kepada KAP Drs. M. Isjwara melalui KMK Nomor: 1120/KM.1/2009 tanggal 7 September 2009, selama tiga bulan, karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak tiga kali dalam jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan terakhir dan sampai saat ini, KAP Drs. M. Isjwara masih melakukan pelanggaran berikutnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2007 dan 2008.
Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 mustika sari All rights reserved.
Blogger Templates created by Deluxe Templates | Blogger Styles
Wordpress Theme by EZwpthemes